Beranda Advetorial Ayah Kenapa Kau Rusak Aku?

Ayah Kenapa Kau Rusak Aku?

BERBAGI

BERITATANGSEL.COM,(CERPEN),- Malam ini kilap petir menerangi jendela kamar. Udara juga mulai terasa dingin. Tanda hujan akan segera turun. Kusibak gordeng jendela kamar, menatap ke luar kaca jendela yang mulai kabur oleh embun. Perasaan yang sempat ku buang dulu, hadir kembali menjajah pikiranku malam ini.

“Naak bangun naaak, ayo siap-siap, sebentar lagi kita berangkat”, ucap ibu membangunkan tidurku.

Orang tuaku membeli rumah di Kota Serang, walaupun berat hati meninggalkan tanah kelahiran di Pandeglang. Bibi juga pindah rumah ke Sulawesi Tengah. Di Pandeglang hanya menyisakan satu rumah yang dihuni oleh nenek dan paman Ade dan keluarganya.

Waktu itu aku masih kelas 2 SMP. Di Serang, ayah menyuruhku sekolah di SMPN 1 Tirtayasa. Selain lokasinya dekat dari rumah, sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah pavorit di wilayah Kabupaten Serang Utara. Tak banyak pertimbangan aku langsung menyetujui saran ayah.

Hari pertama masuk sekolah semua terlihat canggung, maklum namanya juga anak baru. Aku memang tidak pandai bersosialisasi, tambah lagi aku belum bisa berbahasa jawa Serang. Walau begitu, di luar kelas, aku tetap berusaha komunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan teman-teman. Di beberapa moment aku jadi bahan lawakan teman-teman karena gaya bahasaku yang campur Jawa, Sunda, dan Indonesia. Namun itu tidak membuatku sakit hati sakit hati, justru menganggap moment ini menjadi salah satu cara menjalin keakraban dengan mereka.

Si sekolah, aku ditempatkan di kelas VIII F, kelas tempatnya anak-anak nakal, katanya. Tapi mereka tidak pernah membuliku sebagai anak baru di kelas. Aku merasa mereka baik-baik saja, sama seperti siswa lainnya.

Hampir satu semester belajar di sekolah ini. Hari ini jam belajar dipercepat karena dewan guru akan mengadakan rapat dengan kepala sekolah.
“Ray jangan pulang dulu, temen-temen pada mau main futsal. Sparing sama sekolah lain”, ucap salah satu murid sambil melingkarkan tangannya ke pundaku.
“Yaudah ayo aku ikut. Kebetulan lama juga aku ga olahraga”, jawabku

Lapangan futsal tidak jauh dari lokasi sekolah, rupanya tim lawan sudah menunggu kedatangan tim kami.

Kick off
Beberapa menit permainan berjalan rupanya semakin memanas, kedua tim bermain kasar sekali. Baru melihat permainan saja aku sudah ngilu. Aku tidak biasa melihat kekerasan. Aku juga tidak pandai bela diri. Benar saja tak lama kemudian, di dalam lapangan terjadi ribut antar pemain. Aku bergegas menjauhi keributan itu, jujur saja aku orangnya memang penakut.

Baca Juga :  Pesan Terakhir Untuk Lia

Tak sadar, ternyata ada dua orang yang mengejarku, dan langsung memukul. Aku sempat terjatuh karena mendapat dorongan yang begitu kuat, namun aku lekas bangun kembali dan melawan orang itu. Berlangsung perkelahian, namun cuma sebentar.

Jujur saja, ini pertama kalinya aku berkelahi dengan orang lain sampai baku hantam seperti itu. Tanganku bergetar bercampur rasa takut. Tapi aku sedikit berfikir, bahwa berkelahi tidak semengerikan yang aku bayangkan, yang penting tidak menggunakan senjata tajam.

Menjelang maghrib, aku melihat ibu melamun di pintu dapur. Bukan pertama kalinya melihat ibu melamun akhir-akhir ini. Padahal sebelumnya ibu ga seperti ini.

“Bu keur naon mgalamun di panto?” (Bu lagi ngapain ngelamun di pintu)?
“Ga papa, lagi pengen ngadem aja”, sahut ibu murung, sambil meninggalkanku ke kamar.
Tidak ada basa-basi yang ibu ucapkan, bahkan ibu juga tidak menyuruhku makan.
Ku lihat meja makan juga kosong, tidak ada hidangan yang dimasak. Tak lama ibu memanggilku “Ray, ibu ga masak apa-apa hari ini. Kalau kamu mau makan masak sendiri aja yaa”, kata ibu dari kamar.

Aku masak apa yang bisa dimasak.
“Bu ayo makan, aku masak telur dadar buat ibu juga”
“Ibu udah makan,” jawab ibu dengan suara serak

Tubuhku lelah ditambah melihat ibu yang akhir-akhir ini murung membuatku tidak semangat aktifitas. Rasanya cuma pengen di kamar saja seharian. Aku menatap jendela keluar sambil merenung ada apa dengan ibu. Entah kenapa aku juga ikut gelisah melihat ibu seperti itu. Ku lihat cermin lemari sambil memegang kepala, mengusap rambut ke belakang. Seperti melihat ada anak kecil dalam cermin itu, menatap wajahku dengan beringas, sekeliling matanya hitam, kantung matanya terlihat jelas. Tak lama anak kecil itu tersenyum kepadaku dan mengatakan “semuanya akan baik-baik aja. Kamu harus pulang”, ucap anak kecil itu…
“iya keluargaku harus baik-baik saja”, jawabku dengan dalam hati

Aku tak faham sebenarnya apa yang dikatakan anak kecil itu, seperti halusinasi.
Ku tengok kamar ibu, ibu juga sudah tidur. Malam semakin larut namun ayah tak kunjung pulang.

Baca Juga :  Demi Anak Bangsa, GANNAS Pasang Spanduk Kecam Pemagaran Depan Sekolah

Suara ayam bersahut-sahutan, aku bangun di subuh petang. Membangunkan ibu untuk shalat subuh. Namun aku tak melihat ayah, rupanya ayah tak pulang semalam.

Sore ini Roni temanku satu sekolah mengajaku ngopi di luar. Aku kumpul bersama teman-temanku di warkop. Tak lama kemudian, aku mendengar suara motor yang digerung-gerungkan yang tidak asing suaranya. Benar saja itu adalah motor ayah. Aku melihat ayah dengan wanita yang tidak ku kenal sedang membeli bensin di pertamini samping warkop yang kami tempati. Ayah tidak melihatku, aku juga tidak memanggilnya.

Aku mulai curiga kepada ayah, siapa perempuan itu? Semeraut bingung aku harus suudzon atau husnudzon kepada ayah. Penasaran.
Atau jangan-jangan itu yang membuat ibu sering melamun akhir-akhir ini. Aaah ga mungkin ayah berani melakukan itu, aku tau ayah. Lagipula ayah orangnya setia.

Namun rasa penasaran ini membuatku kepikiran kejadian sore itu. Aku segera pulang ke rumah sebelum maghrib, namun di rumah tidak ada siapa-siapa.

Ku datangi rumah Bibi Nida, tetanggaku ‘Bi ibu ke mana?’
Ibu pergi sama Lulu Ray, gatau mau ke mana.

Tak lama kemudian sepupuku Lulu datang bersama ibu. Ibu dalam keadaan menangis. Aku tersontak kaget, langsung meraih tangan ibu “kenapa bu kenapa?” ibu tidak menjawab.
“Tadi ibu melihat ayah sama wanita lain, rupanya ayah mencoba selingkuh dari ibu,” kata Lulu

Tatapku kosong kaget mendengar keterangan dari Lulu. Aku tak bisa berkata apa-apa selain meneteskan air mata.

Ku peluk ibu sambil menangis. Ibu langsung masuk kamar, menutup wajahnya denga bantal.

Ku banting pintu kamarku, ku pecahkan semua foto ayah. Perasaanku kacau tak karuan, aku tidak pernah merasakan sakit sedalam ini. Gimana dengan ibu? ibu pasti lebih sakit melihat kelakuan ayah seperti itu.
Ku dorong pintu kamar dari belakang sambil berteriak “Bajingaaaaaaaan!” berulang kali ku teriakan seperti itu. Ibu langsung memeluku, menenangkanku “sabar nak sabar sabar.”

Libur sekolah berakhir, kegiatan belajar mengajar di kelas mulai aktif lagi. Aku bosan sebenarnya, sudah tidak ada semangat lagi untuk sekolah. Rupanya perbuatan ayah kepada ibu sangat membekas kepada perasaanku, aku kena mental. Sekarang aku cenderung pemarah, apa-apa maunya ribut, sampai-sampai aku pernah ngajak duel salah satu guru karena dia memarahiku di kelas.

Baca Juga :  Seorang Perkerja Proyek Menemukan Jasad Berkelamin Laki - Laki di Dalam Gorong - Gorong

Pasca kejadian itu, aku tidak pernah lagi belajar pelajaran kelas, tidak pernah lagi mengerjakan PR. Bodoamat aku tak peduli apapun yang akan terjadi. dikeluarkan dari sekolahpun tidak jadi masalah. Pasca kejadian itu juga aku sering membuat kegaduhan di sekolah, sering berkelahi dengan siswa lain, sering telat, tidak tertib aturan.

Sekarang aku bukan Aray anak manja lagi, bukan seorang penakut lagi.

Aku juga mulai bergabung dengan anak jalanan. Sekarang kehidupanku dipinggiran kota, sudah jarang pulang ke rumah. Rasanya ingin hidup bebas seperti yang lain. Dulu aku tidak pernah suka konser, sekarang malah jadi pemburu konser. Aku tidak mau memikirkan perasaan lagi, aku hanya mau bebas dari pikiran-pikiran yang mengganggu mental. Dahlah, mending kita pesta alkohol saja.

Aku tahu jelas apa yang ku lakukan selama ini adalah tindakan salah, tindakan yang tidak terpuji, tindakan yang dibenci tuhan. Tapi apalah dayaku yang lemah ini, tak tahan menahan tekanan batin akibat ulah ayah waktu dulu. Sampai sekarang aku tidak mau melihat ayahku lagi.

Sekarang biarkan berjalan apa adanya. Aku tidak punya apa-apa selain ibu di rumah. Aku yakin tuhan maha penyayang, kapan saja waktunya tuhan akan memberi jalan untuku kembali, kembali ke jalan yang yang semestinya, jalan yang penuh cinta.

Aku merenung melihat bintang di langit. Merasakan seperti mengusap pipi ibu, pipi ibu penuh air mata. Bintang itu membentuk pola seperti gambar wajah ayah dan ibu sedang berduaan melihatku ke bawah.

Dalam hati yang paling dalam mengatakan.
Ayah… ibu… aku rindu….
Aku rindu senyumu…
Aku rindu di pangkuanmu…
Aku rindu nasi goreng ibu setiap hendak berangkat ke sekolah…
Aku rindu kalian semua…

Sekarang aku merasa jauh dari kalian. Tak ada yang bisa ku lakukan sekarang selain duduk memeluk kedua lututku sambil menatap langit membayangkan ayah dan ibu bersama.

Pergaulan hari ini membuatku tidak akan pernah mendengar nasehat ibu lagi. Tidak lagi menunggu ayah pulang kerja.
Ayah yang tak kunjung pulang, ayah yang tidak pernah ku miliki lagi…

Penulis: Muhammad Fahri

Ketua Umum HMB Jakarta Periode 2021-2022