Beranda Berita Photo Demokrasi Indonesia Dalam 18 Tahun Reformasi

Demokrasi Indonesia Dalam 18 Tahun Reformasi

BERBAGI

Oleh: Irvan Hidayat (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan Humaniora)

Bulan Mei tahun ini tepat delapan belas tahun Reformasi Indonesia bergulir, setelah sebelumnya tiga puluh dua tahun era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Reformasi menjadi gerbang demokratisasi bagi bangsa Indonesia yang telah lama hidup dibawah kekangan pemerintah. Lengsernya Presiden Soeharto menjadi pertanda dimulainya transisi pemerintahan otoritarian kepada pemerintahan yang demokratis. Harapan besar timbul dari masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang adil dan sejahtera menolak segala bentuk tindak Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), namun sepanjang bergulirnya Reformasi masyarakat Indonesia belum juga menemukan jawaban yang pantas. Kehidupan mereka tidak jauh berubah, karena sejauh ini demokrasi hanya berjalan secara prosedural.

Demokrasi hanya dilandaskan kepada pemilihan umum, penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin yang otoriter. Substansi dari demokrasi menurut Yudi Latif yaitu, pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggung jawaban sistemik (systemic responsive) belum dapat terwujud sampai sekarang. Indonesia sampai sekarang belum bisa beranjak dari fase awal yaitu fase konsolidasi demokrasi, karena demokrasi sulit terwujud jika konsensus elite, pemapanan institusional, kesetaraan basis ekonomi dan sosial belum terwujud dengan maksimal. Kalangan elite belum mencapai sebuah kesepakatan dalam mengkonsepkan demokrasi, mereka masih mewarisi mental feodalis masyarakat pra-kemerdekaan yang cenderung ingin berkuasa sendiri. Institusi-institusi demokrasi belum juga mapan sampai sekarang, indikatornya adalah kinerja wakil rakyat atau pemerintahan daerah sampai saat ini masih dikelilingi oleh masalah yang tidak berpihak pada rakyat. Sejak tahun 2014 kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  banyak menimbulkan kontroversi diantaranya, dalam fungsi legislasi DPR tidak bisa menyelesaikan Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah diprioritaskan. Pada fungsi pengawasannya, DPR masih cenderung tebang pilih demi kepentingan pribadi dan pada fungsi penganggaran DPR tidak bisa membagi secara proporsional.

Baca Juga :  Terbongkar Hakim MA Terima Suap, Kakek Herman Minta Ketua KPK Kawal Putusan PK Soal Tanah

Kesetaraan basis ekonomi dan sosial merupakan hal yang penting dalam mengiringi suksesnya demokrasi, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa keadaulatan politik tidak mempunyai nilai yang bermakna tanpa kedaulatan dibidang-bidang lain, kuhususnya bidang ekonomi. Karena sejak era Orde Baru Indonesia mengalami ketergantungan kepada pihak-pihak asing dalam menjalankan roda perekonomian, namun perlu kita ketahui pasca reformasi industri berbasis masyarakat terus dikembangankan, setidaknya hal ini memberikan sedikit-demi sedikit perubahan untuk perekonomian di Indonesia.

Sisi lain dari buruknya sistem demokrasi adalah adanya sistem one man one vote yang menjadikan suara terbanyak sebagai pemenang yang berhak dijadikan pemimpin, dimana kita ketahui banyak kecurangan yang terjadi pada sistem ini. Dalam sistem ini kualitas bukan lagi  menjadi prioritas utama, maka ketika hal ini terjadi demokrasi tidak berjalan karena negara dipimpin oleh orang-orang bermental otoriter. Wajah demokrasi Indonesia sekarang terlihat begitu berantakan, setiap hari media massa memberintakan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan sistem demokrasi, mulai dari masalah rumah tangga sampai masalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran karena tidak menguntungkan masyarakat. Sikap pesismisme yang sekarang terbangun dimasyarakat adalah hal yang wajar, fase konsolidasi demokrasi yang berjalan lamban tentunya menjadi penyebab utama. Masyarakat dibuat menunggu tanpa diberi kepastian, karena lagi-lagi setiap perkataan yang keluar dari mulut pemerintah hanya bersifat formalitas dan prosedural jauh dari sifat-sifar substansial yang sangat didambakan oleh masyarakat.

Sikap pesimisme masyarakat melahirkan nilai negatif dan positif. Nilai negatifnya adalah banyak upaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menggantikan demokrasi dengan sistem lain seperti halnya negara Khilafah atau Komunis. Tindakan-tindakan seperti ini lumrah terjadi dan perlu ditangani secara demokratis, negara tidak boleh bertindak represif, perlu disadari hal-hal semacam ini timbul karena ketidak mampuan negara dalam menjalankan demokrasi. Sikap pesimisme ini menjadi hal yang positif karena dari hal ini terjadi saling kontrol antara masyarakat dan pemerintah. Negara seperti Indonesia yang multikultural bisa bertahan lebih kokoh jika berdiri diatas pondasi pemerintahan yang mampu menjamin keseimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan bagi seluruh warga negara.

Baca Juga :  Polres Tangsel Amankan Mudik Gratis di Terminal Pondok Cabe

Berterus terang dalam menyikapi demokratisasi adalah hal yang mesti dilakukan, pengakuan akan kegagalan dan ketidak sempurnaan mesti dijewantahkan dengan jujur. Sikap seperti ini akan membuat demokratisasi berjalan dinamis menuju arah progresif. Perlu diketahui sistem demokrasi yang diterapakan dibanyak negara tidak pernah sama dengan konsep awal demokrasi yang berakar dari Athena 2500 tahun lalu. Pada waktu itu praktik demokrasi yang dilakukan adalah demokrasi langsung tanpa adanya perwakilan, sistem demokrasi langsung ini berjalan selama 200 tahun sebelum Athena kalah perang dari Sparta dalam perang Pelopponesia pada 431 SM-434 SM. Setelah itu sistem pemerintahan yang berjalan adalah sistem otokratis. Pengaplikasian demokrasi di Indonesia tentunya disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan sosial yang berkembang, pada masa awal kemerdekaan Indonesia menggunakan sistem demokrasi parlementer namun yang terjadi adalah sering terjadinya pergantian kabinet. Kekuatan penguasa belum bisa membendung pergolakan ideologi yang terjadi saat itu, kemerdekaan Indonesia dengan menjadikan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 masih belum diterima dengan lapang dada oleh banyak pihak. Pada tahun 1959-1965 demokrasi Indonesia dinamakan dengan demokrasi terpempin, pada masa ini Presiden mendominasi politik negara dan damapaknya adalah Presiden bertindak sewenang-wenang dengan melanggar undang-undang contohnya adalah, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR. Pembubaran DPR yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah tindakan yang salah karena Presiden tidak mempunyai wewenang untuk hal itu. Pada masa Orde Baru wajah demokrasi Indonesia dinamakan dengan demokrasi Pancasila, pemerintah pada era ini gagal merealisiasikan rencananya yaitu, menegakan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum, mengutamakan kehidupan yang layak bagi semua warga negara, pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas  dan tidak memihak. Keadaan yang terjadi adalah dominannya peran militer (ABRI), birokratisasi dan sentralisasi politik, pengebirian peran dan fungsi partai politi, campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan politik dan publik, monolitisasi ideologi negara dan inkorporasi lemabaga non pemerintahan. Fase Reformasi yang telah dan sedang bergulir sampai sekarang belum menemukan formasi idealnya.

Baca Juga :  99 Orang Tewas, Ratusan Ciu di Tangerang Diamankan

Pada umur ke-18 tahun ini Reformasi masih terus berusaha mencari bentuk idealnya, para pakar politik, Cendekiawan dan masyarakat masih harus terus melakukan evaluasi. Kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat harus terus dibangun dengan mengedepanakan kepentingan bersama (collective interest), dengan memberanikan diri untuk ikhlas dan lapang dada menentukan kesepakatan konsep demokrasi. Pengembangan penelitian-penelitian terkait dengan pembangunan masyarakat harus terus ditingkatkan, mengingat kehidupan manusia yang sangat dinamis ditambah dengan era teknologi yang melaju cepat. Melalui penelitian maka akan ditemukan pola yang mendekati ketepatan dalam mengambil tindakan, kemudian hasil dari penelitian ini dijadikan acuan dalam membuat kebijakan. Kerja keras masih harus terus dilakukan, jangan menodai demokrasi dengan tindakan represif yang jauh dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri, maka cita-cita bersama ini akan terwujud jika semua elemen negara aktif bekerjasama mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan.