Bantuan Hukum Daerah Membutuhkan Transparansi

banner 468x60

Pamulang – Bertempat di Pamulang, Kota Tangerang Selatan, diskusi hangat menggema. Koalisi Masyarakat Sipil, terdiri dari LBH Keadilan, YIHEGI, dan LBH SDI, menggelar forum bertajuk “Quo Vadis Kebijakan Bantuan Hukum Pasca Pelantikan Kepala Daerah 2025?”. Rabu (26/2) Siang.

Diskusi ini menyentil problem akut bantuan hukum daerah, yang kian tak jelas arahnya. Diskusi menghadirkan pembicara Abdul Hamim Jauzie dari LBH Keadilan, Hindun Basyirah, peneliti YIHEGI, dan Chessa Ario Jani Purnomo, Akademisi Fakultas Hukum UNPAM.

Duskusi yang dihadiri Mahasiswa, pelaku UMK hingga aktivis, hadir menuntut transparansi dan kejelasan bantuan hukum daerah, khususnya Tangerang Selatan dan Provinsi Banten.

Abdul Hamim Jauzie, advokat publik LBH Keadilan, membuka borok kebijakan. Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota yang ada, menurutnya, sekadar formalitas tanpa implementasi nyata. “Perda Kota Tangerang Selatan tentang Bantuan Hukum, dan berikut Perwal sebagai aturan pelaksanaanya, dibuat tidak partisipatif,” ujar Hamim dalam paparannya.

Lebih lanjut, Hamim menyebutkan Draf Perda dan Perwal tidak pernah bisa diakses publik. “Di Tangsel ini aneh, bagaimana masyarakat bisa memberikan masukan, sementara Raperdanya tidak bisa dibaca oleh masyarakat”.

Pelaksanaan Bantuan Hukum juga menjadi sorotan Hamim. Dia mengatakan bahwa Bantuan Hukum di Tangerang Selatan hanya formalitas. “Anggaran bantuan hukum yang ada itu hanya. basa basi saja. Bagaimana mungkin anggaran bantuan hukum hanya disediakan bagi 8 orang saja, ditambah yang penyaluran anggarannya juga tidak transparan,” ujar Hamim menambahkan.

Hindun Basyirah, peneliti YIHEGI, menyoroti hak pelaku UMK atas bantuan hukum. Namun, akses keadilan masih jauh panggang dari api. Persepsi keliru, informasi minim, dan sistem rujukan tak efektif, jadi batu sandungan. “Bantuan hukum gratis, tapi masyarakat masih ragu,” ungkapnya.

Chessa Ario Jani Purnomo, dosen hukum Universitas Pamulang, menawarkan perspektif akademis. Tujuh elemen implementasi kebijakan, mulai dari konteks hingga aktor kebijakan/pemimpin implementasi, harus diperhatikan. Ia mempertanyakan pemahaman birokrat daerah atas perluasan sasaran bantuan hukum ke UMK, sesuai UU Cipta Kerja. “Apakah mereka paham spirit kebijakan ini?” tanyanya retoris.

Diskusi ini bukan sekadar ajang keluh kesah. Lebih dari itu, ini adalah seruan untuk perubahan. Masyarakat menuntut bantuan hukum yang adil dan transparan bagi masyarakat tidak mampu dan juga UMK. Akankah para kepala daerah terpilih nanti mendengar suara ini? Waktu yang akan menjawab.

 

Sumber: YIHEGI. Red/ Alwi

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *