Demi Keadilan, Kuasa Hukum Korban Penyiraman Cairan Pembersih Lantai Minta SP3 atas Laporan Balik Terduga Pelaku

banner 468x60

Beritatangsel.com — Kuasa hukum korban kasus dugaan penganiayaan dengan penyiraman cairan pembersih lantai ke mata meminta Polres Metro Tangerang Kota untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas laporan balik yang dilayangkan oleh terduga pelaku.

Permintaan tersebut disampaikan kuasa hukum korban, Reynaldi, S.H., M.Kn., menanggapi langkah hukum terduga pelaku yang melaporkan korban dan sejumlah pihak lainnya ke kepolisian.

Reynaldi menjelaskan, berdasarkan Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan dapat dihentikan apabila tidak ditemukan cukup bukti, peristiwa bukan merupakan tindak pidana, atau perkara dihentikan demi hukum. Dalam kasus ini, menurutnya, terduga pelaku justru diduga kuat telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada korban.

“Terduga pelaku menyiramkan cairan pembersih lantai ke mata kanan korban Ridwan, yang berdasarkan hasil diagnosis dokter menyebabkan kornea trauma kolokuli dan berpotensi menimbulkan cacat permanen,” ujar Reynaldi dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025).

Ia menambahkan, saat ini terduga pelaku telah ditahan oleh Polsek Ciledug atas dugaan tindak pidana penganiayaan. Oleh karena itu, laporan balik yang diajukan dinilai bertentangan dengan asas ne bis in idem, yakni prinsip hukum yang melarang seseorang untuk dituntut atau diadili lebih dari satu kali atas perbuatan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHAP.

“Dalam asas hukum dikenal pula prinsip nemo debet bis vexari pro una et eadem causa, yang berarti seseorang tidak boleh diganggu atau dituntut dua kali atas sebab perkara yang sama,” tegasnya.

Terkait pasal-pasal yang dilaporkan balik, yakni Pasal 170, Pasal 406, dan Pasal 363 KUHP, Reynaldi menilai peristiwa tersebut merupakan tindakan spontanitas massa. Menurutnya, reaksi warga terjadi sebagai bentuk kepedulian sosial ketika melihat seseorang mengalami penganiayaan.

“Dalam hukum pidana dikenal asas kausalitas atau sebab-akibat. Reaksi spontan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peristiwa awal, yaitu tindakan penganiayaan yang dilakukan terduga pelaku,” jelasnya.

Lebih lanjut, Reynaldi menekankan bahwa korban dan saksi memiliki perlindungan hukum. Ia merujuk pada ketentuan hak menolak bersaksi yang diatur secara ketat dalam KUHAP, serta prinsip bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut pidana maupun perdata atas laporan atau kesaksian yang diberikan dengan itikad baik.

“Hal ini sejalan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang menjamin imunitas hukum bagi saksi dan korban yang bertindak dengan good faith,” paparnya.

Kuasa hukum menyayangkan adanya pemanggilan kliennya sebagai saksi dalam laporan balik tersebut, sementara status hukum terlapor masih sebagai terduga tersangka penganiayaan. Menurutnya, kondisi ini menimbulkan kerancuan hukum, stigma sosial di masyarakat, serta ketidakpastian hukum bagi korban.

“Kami berharap aparat penegak hukum dapat bersikap objektif dan profesional, serta memberikan kepastian hukum yang adil bagi klien kami,” pungkas Reynaldi.

Berikut tambahan tanggapan Merzayadi, S.H., M.H. yang dapat disisipkan dalam artikel dengan gaya pemberitaan yang selaras:

Sementara itu, kuasa hukum korban lainnya, Merzayadi, S.H., M.H., turut menegaskan bahwa laporan balik yang diajukan terduga pelaku berpotensi mengaburkan substansi perkara utama. Menurutnya, fokus penegakan hukum seharusnya diarahkan pada dugaan tindak pidana penganiayaan berat yang dialami korban, bukan justru membuka ruang kriminalisasi terhadap korban dan pihak-pihak yang memberikan pertolongan.

“Laporan balik ini patut diduga sebagai upaya pembelaan diri yang keliru dan cenderung mengalihkan perhatian dari peristiwa pidana utama. Aparat penegak hukum harus cermat menilai mana sebab dan mana akibat agar tidak terjadi ketidakadilan,” ujar Merzayadi.

Ia menambahkan, dalam praktik hukum pidana, penyidik memiliki kewenangan untuk menilai secara objektif apakah suatu laporan memenuhi unsur tindak pidana atau tidak. Jika laporan balik tersebut tidak didukung alat bukti yang cukup dan lahir dari rangkaian peristiwa yang sama, maka penghentian penyidikan melalui SP3 merupakan langkah hukum yang tepat dan sah.

“Penegakan hukum tidak boleh mencederai rasa keadilan masyarakat. Korban harus dilindungi, bukan justru dibebani dengan proses hukum yang berlarut-larut akibat laporan yang secara yuridis lemah,” tegasnya.

Merzayadi juga berharap Polres Metro Tangerang Kota dapat menjunjung tinggi asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan dalam menangani perkara ini, sehingga tidak menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan korban tindak pidana di kemudian hari.

Sedangkan kuasa hukum Reza Virgiawan, S.H., berharap penanganan kasus ini dapat dilakukan secara objektif, transparan, dan berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku. Ia menekankan pentingnya aparat penegak hukum untuk memisahkan secara tegas antara peristiwa pidana utama dan laporan balik agar tidak terjadi kekeliruan dalam proses penyidikan.

“Kami berharap kasus ini ditangani secara profesional dan proporsional, dengan mengedepankan fakta hukum dan alat bukti yang sah. Jangan sampai proses hukum justru merugikan pihak yang seharusnya mendapatkan perlindungan,” ujar Reza.

Ia juga berharap kepolisian dapat memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak, khususnya korban, sehingga perkara ini dapat diselesaikan secara adil dan tidak berlarut-larut.

“Penegakan hukum yang baik adalah penegakan hukum yang mampu memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat,” pungkasnya.

 

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *