Tangsel, Beritatangsel.con -1 Menjelang peringatan Hari Anak Sedunia, perhatian publik kembali tertujupada Kota Tangerang Selatan setelah dua kasus kekerasan terhadap anak meneuat secara nasional kasus asusila terhadap remaja putri yang viral melalui podeast Denny Sumargo,serta kematian seorang siswa SMP akibat bullying berkepanjangan. Dua peristiwa ini memunculkan kembali pertanyaan mendasar:
Apakah predikat “Kota Layak Anak” yang disandang Tangsel benar-benarmerefleksikan kondisi riil perlindungan anak?Data yang ditulis olch Arah Muda Progresif dalam naskah akademik yang berjudul DeterminasiPerlindungan dan Pemenuhan Hak Anak menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di Tangselpada 2023-2024 terus meningkat. Sepanjang 2024 saja, tercatat lebih dari 268 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, dengan lebih dari 160 kasus melibatkan anak.
Kekerasan psikis dan seksual mendominasi laporan, sementara ruang publik ramah anak masih jauh dari memadai.Walau Tangsel meraih predikat Kota Layak Anak Kategori Utama pada 2025, data ini memperlihatkan jurang antara penghargaan dan kenyataan.Kasus yang terungkap melalui podeast Denny Sumargo menggambarkan persoulan serius: korban remaja putri harus mencari ruang publik agar suaranya didengar.
Keberanian korban bersuarabukanlah pertanda sistem yang bekerja, melainkan indikator bahwa jalur pelaporan resmi danlayanan perlindungan tidak memberi rasa aman, ini merupakan telah terjadi kegugalan secarastruktural.Sistem perlindungan anak yang seharusnya responsif justru tampak lambat dan berbelit.Aparat penegak hukum dinilai tidak memiliki mekanisme penanganan kasus kekcrasan seksualanak yang cepat,empatik,dan terstruktur.
Dalam konteks ini, minimnya penyidik terlatih menjadifaktor penghambat utama proses hukum yang berkendilan.Sementara itu,kasus kematian siswa SMPN 19 Kota Tangerang Selatan akibat bullying menyorotilemahnya perlindungan di lingkungan pendidikan.
Sekolah yang semestinya menjadi ruang amanjustru gagal mendeteksi tanda-tanda kekerasan yang berlangsung lama. Tidak adanya satuan tugasperlindungan anak yang aktif, kurangnya pelatihan guru dalam deteksi dini kekerasan,sertakoordinasi yang buruk antara sekolah, orang tua, dan Pemkot menjadi penyebab utama sistem runtuh. Peristiwa ini menunjukkan bahwa konsep “Sekolah Ramah Anak” selama ini lebih sering berhenti pada dokument administratif,bukan implementasi nyata.
Minimnya upaya pencegahan dan perlindungan juga tampak pada lembaga-pemerintah daerah.Layanan seperti UPTD PPA dan PUSPAGA masih kekurangan psikolog, pekerja sosial, sertatenaga pendamping profesional. Wilayah kecamatan tidak memiliki petugas perlindungan anak yang memadai,sementara jalur layanan pengaduan belum sepenuhnya ramah anak. Kondisi inidiperparah oleh ketimpangan layanan antar kecamatan, terutama pada daerah padat pendudukseperti Pamulang dan Ciputat.
Akibatnya, perlindungan anak bergantung pada keberuntunganlokasi tinggal,bukan pada sistem terstandar. Dalam persoalan ini, predikat Kota Layak Anak patutdipertanyakan.Banyak pihak menilai bahwa penilaian KLA masih terlalu fokus pada kelengkapanadministrasi, bukan pencapaian nyata. Kota dapat memperoleh penghargaan meski kasuskekerasan anak terus meningkat, ruang publik tidak merata, dan sistem tidak berjalan. KLAberpotensi menjadi simbol seremonial tanpa mencerminkan kualitas hidup anak yang sebenarnya.Peringatan Hari Anak Sedunia seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan hal ini secarakritis.Kelemahan penegakan hukum aparat kepolisian dan minimnya mekanisme pencegahanmenunjukkan bahwa perlindungan anak di Tangsel belum ditempatkan sebagai prioritas nyata.Penanganan kasus sering dimulai setelah menjadi viral, bukan melalui sistem pengawasan yangantisipatif. Budaya diam dalam masyarakat masih kuat, sementara keberanian korban seringkalibergantung pada publikasi media, bukan keberfungsian aparat.Momentum Hari Anak Sedunia semestinya menjadi titik balik. Tangsel perlu berani mengakuibahwa predikat KLA belum sepenuhnya mencerminkan realitas perlindungan anak. Pemerintahkota harus memperkuat sistem pengawasan, memastikan sekolah benar-benar aman,meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, dan memperluas akses layanan konseling serta pendampingan.
Lebih dari sekadar program, kota membutuhkan ekosistem perlindungan anak yang hidup,terintegrasi, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak. Selama anak-anak masihharus berlindung dibalik rasa ketakutan untuk mendapatkan keadilan, Tangsel belum benar-benarlayak disebut Kota Layak Anak. Hari Anak Sedunia tahun ini harus menjadi pengingat bahwa perlindungan anak bukan penghargaan yang dipajang di dinding kantor, melainkan tanggungjawab moral dan hukum yang harus diwujudkan dalam setiap ruang kota. (Hasan)







