Beranda Berita DPRD TPA RAWA KUCING IN MEMORIAM PART III

TPA RAWA KUCING IN MEMORIAM PART III

BERBAGI

Kota Tangerang – Dampak Keberadaaan TPA Rawa Kucing.
Pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing pun banyak menimbulkan persoalan bagi pelaksanaan pembangunan dan masyarakat yang tinggal disekitarnya, diantaranya adalah :
1. Perubahan estetika
– Lingkungan menjadi kumuh.
– Tata permukiman menjadi tidak teratur.
2. Perubahan ekologi (lingkungan).
– Perubahan iklim mikro
– Kurangnya tanaman dan banyaknya pembakaran sampah menjadikan lokasi di sekitar wilayah TPA lebih panas.
– Penurunan jumlah biota.
– Peningkatan polusi udara, tanah dan air.
3. Perubahan sosial budaya
– Pola hidup yang tidak hiegenis, karena bagi masyarakatnya banyak yang menyimpan sampah di dalam rumah, yang mereka anggap adalah suatu aset yang bernilai ekonomi.
– Terjadinya gap sosial antara masyarakat lokal dan pendatang sebagai pemulung sampah.
4. Kesehatan masyarakat
– Adanya ikubasi penyakit yang bersifat endemic.
– Keberadaan sampah menstimulasi tumbuh dan berkembangnya penyakit kulit, ISPA, TBC, cacingan, diare dan PES.
5. Pembangunan bidang pendidikan
– Terjadi penurunan prestasi akademik anak didik SD.
– Meningkatnya angka putus sekolah, karena para orang tua lebih menyenangi anaknya menjadi pemulung yang dapat menghasilkan ekonomi daripada sekolah yang dianggap mengeluarkan uang.
– Tidak efektifnya pelaksanaan pembagunan bidang pendidikan.
Saya menyadari bahwa yang saya ungkapkan tentang dampak di atas masih bersifat hipotesa yang perlu pembuktian secara valid melalui suatu penelitian. Tentunya adanya kegiatan penelitian ini juga menjadi komitmen Pemkot Tangerang yang didukung goodwill Walikota, karena hasil penelitian dapat dijadikan bahan untuk pengambilan kebijakan Pemkot Tangerang bila serius akan mengatasi persoalan dampak keberadaan TPA Rawa Kucing.

Namun, bila merujuk pada pemberitaan terkini yang menyebutkan bahwa TPA Rawa Kucing menghasilkan air limbah yang dikelola dengan baik dan telah mencemari lahan pertanian masyarakat yang ada di sekitar TPA, dan dinyatakan bila bersinggungan langsung dengan kulit akan berdampak pada iritasi dan gatal-gatal walaupun sudah dicuci, tentunya bisa menjadi sebuah indikasi bahwa pengelolaan IPAL TPA Rawa Kucing ini bermasalah. Apalagi dengan kejadian longsor di TPA Rawa Kucing karena faktor timbunan sampah yang tidak tertampung dan berdampak menimbulkan kerugian ekonomi kepada masyarakat yang tidak pernah kunjung ditangani oleh Pemkot Tangerang, menunjukkan indikasi adanya masalah dalam pengelolaan TPA Rawa Kucing saat ini.

Baca Juga :  Hj. Siti Masrifah : Perlunya Konstituennya Untuk Melakukan RDP Dengan Masyarakat Tentang Pembangunan SDM Serta Pengetahuan IPTEK

Tentunya permasalahan sampah di atas tidak diinginkan oleh kita sebagai warga Kota Tangerang. Pada dasarnya persoalan sampah pangkal masalahnya dari cara pandang dari kita yang menganggap sampah adalah suatu barang sisa buangan yang tidak memiliki harga sebagai barang ekonomi. Karena tidak memiliki nilai ekonomi inilah muncul keenganan bagi masyarakat untuk menerima kehadiran sampah. Apabila cara pandang masyarakat sama seperti halnya cara pandang pemulung ataupun pengusaha limbah yang menganggap sampah adalah suatu barang yang memiliki nilai ekonomi, maka persoalan sampah menjadi tidak ada lagi.

Mengatasi persoalan sampah di Kota Tangerang dengan cara mengubah perilaku masyarakat dan cara pandangnya terhadap sampah memerlukan indikator keberhasilan minimal lima tahun. Hal ini menyangkut perilaku sosial dan budaya masyarakat, karena mengubah perilaku tidak seperti menggunakan teknologi yang ukurannya paling lama bisa setahun pelaksanaan.
Mengatasi persoalan sampah dengan mengubah cara pandang masyarakat bukan dengan teknologi dibutuhkan pula kelegawaan dari para birokrat yang ada di jajaran Pemerintah Kota Tangerang, terutama yang berwenang mengelola sampah. Program ini adalah program sosial akan tetapi menghasilkan benefit sosial dan ekonomi. Benefit sosialnya adalah tertanggulanginya persoalan sampah, sedangkan benefit ekonominya adalah mendapatkan keuntungan atas penjualan sampah yang dapat dimasukan dalam PAD Kota Tangerang. Oleh karena itu, bagi para birokrat yang selama ini diuntungkan atas pembelian peralatan kebersihan dan dapat diperoleh pada tahun pencairan pembelian peralatan itu, menjadi nihil ketika program ini dilaksanakan.

Cara lain dalam mengatasi sampah dalam waktu relatif pendek adalah dengan penggunaan teknologi. Kondisi ini seperti yang dianjurkan pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Alternatif lain penggunaan teknologi lainnya adalah dengan penggunaan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) yang direkomendasikan oleh KPK yang katanya bisa menghemat biaya pengelolaan sampah.

Baca Juga :  School Production, Program Baru Di Stella Maris School

Saya sendiri melihat dengan adanya berbagai opsi yang tersedia untuk pengelolaan sampah di Kota Tangerang sampai dengan sekarang masih adanya ambigu Pemkot Tangerang yang ditunjukan oleh kegamangan Walikota Tangerang dalam mengambil keputusan, apakah dengan budaya kearifan lokal atau memilih penggunaan teknologi antara PLTSa dengan RDF.
Penggunaan teknologi antara PLTSa sebagai alternatif penanganan sampah yang konon katanya sudah melalui proses lelang terbuka dan sudah ada rancangan peraturan daerahnya goyah dengan alternatif penggunaan teknologi RDF.

Saya sendiri menyarankan agar Pemkot Tangerang sebelum mengambil suatu kebijakan terlebih dahulu harus didasarkan atas hasil penelitian yang valid, sehingga dalam proses pengambilan keputusannya tidak menjadi ambigu dan gamang. Adanya hasil penelitian ini juga bisa memberikan rekomendasi yang tepat atas berbagai alternatif pemilihan solusi dalam mengatasi persoalan sampah di Kota Tangerang dan bisa menunjukkan kemandirian daerah, termasuk kemandirian dan kebijakasanaan Walikota selaku pemimpinnya. Karena belum tentu anjuran dari pemerintah pusat dalam mengatasi persoalan sampah di Kota Tangerang menjadi pilihan yang terbaik untuk diterapkan di Kota Tangerang.
Kalau mengenang pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing pada tahun 2019, saat itu saya sendiri kaget dengan kondisi TPA Rawa Kucing ini, kesan kumuh, kotor, dan bau yang sering muncul di kepala saya ternyata berbeda. Pada tahun itu, TPA Rawa Kucing dalam keadaan bersih, memiliki sarana bermain, dan malah oleh masyarakat sekitar dijadikan salah satu alternatif destinasi wisata.

Bila saya menelusuri ternyata saat itu dalam pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing pernah bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam menyelesaikan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing Kota Tangerang, menggunakan sistem sanitary landfill yang ramah lingkungan yang selesai pada tahun 2018. Penerapan sistem ini membuat kawasan sekitar tidak tercemar atau berbau dari timbunan sampah.

Baca Juga :  Ratusan Pegawai Pemkot Tangsel Disuntik Vaksin Booster

Pada saat itu, saya sebagai salah satu warga Kota Tangerang menjadi bangga karena perupaan TPA yang berubah drastis yang menjadi ramah lingkungan, tapi pada akhir kunjungan saya di awal bulan April saya juga dibuat terkesima, mengingat kesan 2 tahun lalu tentang TPA Rawa Kucing hilang dan kembali lagi kepada perupaan lama yang terkesan kumuh, kotor, dan bau muncul kembali. Apa yang terjadi dengan TPA Rawa Kucing, apakah kebijakan Pemkot Tangerang ini tidak dapat bertahan lama dan bersifat euphoria, yang saya tahu pasti Walikotanya adalah orang yang sama, yang berubah adalah nama nomenklatur organisasi perangkat daerahnya serta orang yang mengisi formasi jabatan di OPD tersebut. Karena itu, secara keseluruhan kesan baik tentang TPA Rawa Kucing 2 tahun lalu buat saya sudah menjadi in memoriam di tahun 2021 ini.

Narasi Akademik

(Asep Sugara, S.P., MM)