Beranda Berita Photo Pluralisme Agama di Indonesia, Begini Menurut Mahasiswa UIN

Pluralisme Agama di Indonesia, Begini Menurut Mahasiswa UIN

BERBAGI
Eka agus setiawan Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beritatangsel.com — Tidak dapat disangkal bahwa Pluralisme di Indonesia seperti Suku, Budaya, Adat istiadat dan Bahasa, termasuk agama adalah kenyataan. Sudah berulang-ulang dikatakan bahwa di Indonesia terdapat sekian banyak agama. Namun demikian, secara resmi hanya diakui 5 agama yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.

Belakangan, di era pemerintahan Abdurrahman Wahid Khonguchu diakui sebagai agama, setelah bertahun-tahun ditekan oleh rezim soeharto. Namun demikian, tetep muncul pertanyaan kritis, yaitu tepatkah untuk membedakan antara agama yang diakui dan agama yang tidak diakui? Persoalan ini terus mengemuka dan dipertanyakan terutama di kalangan kaum intelektual.

Abdurrahman wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur berkeinginan agar semua orang yang disebut “kaum minoritas” diberi hak dan kebebasan mengungkapkan keberagamaanya di muka umum. Bukan rahasia lagi, bahwa yang disebut agama-agama suku seperti Parmalim di Sumatera, Marapu di Sumba, Jingitiu di Sabu, dan berbagai agama-agama suku lainnya tetap hidup sampai sekarang.

Di Kalimantan, agama Kaharingan didesak untuk menggabungkan diri dengan agama Hindu Dharma, kendati unsur-unsur kepercayaan mereka tidak selalu sama dengan agama Hindu. Maka tepatlah apabila pemahaman tentang “resmi” dan “tidak resmi”, “diakui” dan “tidak diakui” terhadap agama agama-agama harap ditinjau kembali.

Timbul pertanyaan yang mendasar dikalangan kaum intelektual adalah, apakah negara berhak menentukan resmi dan tidak resmi itu? Bukankah negara sendiri menentukan kriteria yang justru di ambil dari agama-agama “samawi”, yaitu harus mempunyai kitab suci, nabi dan seterusnya. Penentuan sepihak seperti ini jelas merugikan para penganut yang agamanya tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan itu.

Toleransi

Mengakui perbedaan-perbedaan menuntut kita untuk berlaku toleran. Ditinjau dari kacamata sejarah, orang biasa membedakan antara toleransi formal dan toleransi material.

Baca Juga :  Tsunami Selat Sunda: Pemerintah Jangan Tutup Mata

Toleransi formal berarti membiarkan saja pandangan-pandangan dan praktik-praktik politik atau agama yang tidak sesuai dengan pandangan kita, sejauh itu tidak mengganggu.

Sementara toleransi material bermakna suatu pengakuan terhadap nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman yang berbeda.

Agama misalnya, selama ia hanya memasuki seluruh relung kehidupan dan solidaritas dengan kelompok yang ambil bagian berisikan ritual saja, maka kita akan menemukan terhadap toleransi formal dalam berhadapan dengan agama-agama lain.

Kitab perjanjian lama menjelaskan bahwa agama-agama mistik justru memperlihatkan toleransi yang tinggi. Di situ diakui adanya berbagai jalan untuk tiba pada kesatuan yang ilahi.

Gagasan mengenai toleransi mulai mengemuka di Eropa dalam abad-16, sebagai akibat pengalaman akan penderitaan hebat yang disebabkan oleh perang-perang agama, munculnya humanisme dan proses sekularisasi dari negara-negara moderen.

Sifat toleransi harus diterapkan dalam kemajemukan agama-agama di Indonesia, agar dapat dikatakan bahwa pluralitas agama-agama itu dapat berfungsi sebagai tiang-tiang penopang dari sebuah bangunan ahlak, dan sebagai anggota-anggota yang saling melengkapi dari sebuah tubuh iman yang dapat memberi dasar etik, moral, serta spiritual bagi pembangunan Indonesia.

Penulis Adalah: Eka agus setiawan. Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat.

editor : Arief