Beranda Berita Terkini Agama di Tengah Kemajuan

Agama di Tengah Kemajuan

BERBAGI
ilustrasi
ilustrasi
ilustrasi
ilustrasi

BT.COM –  Di tengah kemajuan masyarakat dunia saat ini, telah muncul sarana-sarana baru yang mempercepat dinamisme sosial. Katakanlah, media sosial, media daring, forum daring dan sederet sarana-sarana serupa.  Hal itu ditopang dengan pesatnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi. Sehingga, perubahan sekecil apapun, apabila telah terekspos lewat sarana-sarana tersebut, dalam hitungan detik – bila boleh berlebihan – lebih dari tiga perempat manusia di bumi bisa mengetahui hal tersebut.

Tentu saja tidak dapat dipungkiri, dalam bingkai yang positif, kemajuan signifikan dari sarana-sarana baru tersebut telah mengubah dunia menjadi sedemikian rupa, tidak lagi seluas yang ada di pikiran para pelaut jaman nenek moyang. Ekstrimnya, berita mengenai seorang kakek 95 tahun yang memecahkan rekor dunia dengan lari 200 meter pun bisa diketahui dengan mudahnya (Mirror, 8 Mei 2015). Dunia yang kita kenal sekarang, seolah menjadi sekecil gadget dengan varian ukuran  dari 3.5” sampai 7” ditambah dengan beragam model dan spesifikasi yang multi-varian.

Sedangkan dalam bingkai yang negatif, kerapkali kemajuan ini telah membawa kerugian yang tidak kecil. Kasus penyebaran video asusila, bullying terhadap sebuah kelompok (umumnya minoritas), dan bahkan sampai kepada ajang propaganda terorisme. Sulitnya membendung informasi demikian, telah terbukti berdampak buruk pada moral, etiquette dan bahkan eksesnya sampai ke ideologi bangsa. Segala golongan masyarakat, dari petani sampai presiden pun bisa terkena imbasnya.

Namun, terlepas dari itu semua, satu ihwal yang perlahan kehilangan kemilaunya di tengah masyarakat, agama – baik sebagai simbol maupun nilai ataupun keduanya. Jangankan mempertahankan, bahkan agama mulai sulit menemukan tempatnya dalam kondisi dunia yang seperti sekarang. Dalam pesatnya kemajuan dunia yang seperti ini, letak agama menjadi bias. Di satu sisi tidak sebaiknya agama ada di ruang publik yang sekarang dan di sisi lainnya mengharuskan agama berada di dalamnya. Pun dikotomis antara dua pihak ini bukanlah hal yang baru, namun kiranya ada baiknya memikirkan ulang tentang posisi agama di tengah masyarakat saat ini.

Baca Juga :  Wali Kota Tangsel Buka Turnamen Tiga Pilar Cup di Kecamatan Ciputat

Memisahkan

Agama, merupakan sebuah produk kekayaan manusia – Lewat  proses-proses transendental  cukup rumit yang dialami oleh manusia yang mempunyai sifat-sifat  profetik – yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang umumnya humanis. Namun kadangkala agama dibawakan ke ruang publik dengan cara yang salah. Alih-alih membawakan nilai-nilai yang terkandung di dalam agama, malahan lebih didominasi oleh simbol agama yang seringkali dijadikan kendaraan bagi pihak-pihak oportunis.  Di sini, agama menjadi terkesan mempunyai muatan yang melulu negatif dan selalu menjadi akar masalah keributan.

Nahasnya, hal di atas menjadikan posisi agama – sebagai sesuatu yang menunggal antara nilai dan simbol – semakin tidak menguntungkan di ruang publik dan itu semua diakibatkan ulah-ulah anasir yang tidak bertanggung jawab. Legitimasi akan menjauhkan agama dari ruang publik pun semakin santer. Sejarah pun telah memperlihatkan ini semua, salah satu contoh yang umum namun bagus adalah bagaimana hubungan gereja dengan negara di barat yang tidak berjalan mulus dengan melakukan kolaborasi mengelola teritori dan properti di Eropa.

Adapun contoh lainnya, adalah kisah mengenai  pembaruan yang dilakukan Attaturk pada tahun 1922. Kemerosotan yang dialami Turki Utsmani, kekalahan beruntun oleh Eropa dan bahkan dijuluki sebagai the sick man of Europe oleh Tsar Nicholas I dari Rusia, dilihatnya sebagai kesalahan para wazir dan sultan yang disibukkan melulu dengan kekuasaan. Tidak ada nilai-nilai agama yang tumbuh dalam pemerintahan seperti itu, yang ada hanyalah memanfaatkan agama sebagai legitimasi kekuasaan semata, sehingga Attaturk memutuskan bahwa sekularisasi adalah jalan keluar bagi Turki Utsmani.

Lantas, berkaca dari kegagalan agama pada beberapa kasus di atas, tergambarkan bahwa agama yang gagal menghadirkan nilai-nilainya pada kehidupan bermasyarakat akan ditolak mentah-mentah keberadaannya. Dan dilihat dari sisi lain, sebelum terjadinya penolakan, sebenarnya ada upaya menghadirkan agama, namun dalam praktiknya lebih didominasi dengan hadirnya agama sebagai simbol yang ditunggangi kepentingan-kepentingan yang berkuasa.

Baca Juga :  Warga Apresiasi Gerak Cepat DLH Kota Tangsel Respon Keluhan Warga

Hal itu dapat terjadi karena pada dasarnya agama merupakan sesuatu yang omnipresence, hadir di mana-mana. Dan pemisahan antara agama sebagai nilai dengan agama sebagai simbol sebetulnya hampir dipastikan sulit terjadi. Memisahkan nilai dan simbol agama bila diperumpamakan ibarat memisahkan minyak dengan air yang sudah teraduk-aduk. Meski bisa, namun tetap akan ada bagian dari minyak yang masih menyatu dengan air.

Walakin, bila nilai dan simbol dalam agama dapat dipisahkan maka akan muncul sebuah bentuk kehidupan bermasyarakat yang mungkin menyerupai utopia. Sama seperti yang pernah dilontarkan beberapa abad silam oleh Plato dalam magnum opus-nya, Republic.

Gairah

Barangkali jargon lama Cak Nur yang berbunyi “Islam Yes! Partai Islam No!” – tanpa menguntungkan atau menyudutkan agama manapun – esensinya harus dikembangkan sampai bentuk yang terkecil di dalam tatanan masyrakat sekarang. Sehingga, masyarakat sadar bahwa agama sebagai produk yang tersusun atas nilai-nilai yang baik ternyata memang masih harus punya ruang di tengah masyarakat yang binal seperti sekarang.  Agama sebagai nilai pun akhirnya akan berhasil menjadi alternatif, meskipun nyatanya agama itu sendiri adalah hal yang sudah usang karena eksistensinya yang begitu lama.

Kemudian, harapannya gairah nilai-nilai agama di ruang publik ini dapat menjadikan dunia pada umumnya dan khususnya negara kita menjadi lebih baik lagi. Kisruh-kisruh yang melanda berbagai sektor kehidupan dapat berjalan sesuai dengan koridor yang ada. Sedangkan simbol-simbol yang ada pada agama dapat dikesampingkan guna menghindari hal-hal yang dapat mencelakakan maupun merugikan siapapun di Tanah Air ini.

Lebih jauh lagi, peranan pemerintah dirasa perlu untuk mengaplikasikan nilai-nilai agama. Pemerintah selaku aktor formal dalam negara apabila tindak-tanduknya sesuai dengan nilai-nilai agama tanpa membawa simbol-simbol agama tertentu pastinya tidak akan dianggap sebagai tuna keliru di mata masyarakat. Justru sebaliknya, pemerintah telah berhasil membawakan sesuatu yang baru ke dalam kekacauan moral yang ada di tengah masyarakat sekarang.

Baca Juga :  Tidak Suka Makan Sayur? Yuk Coba Es Krim Ini!

Dengan orang-orang pemerintahan yang demikian – mengaplikasikan nilai-nilai agama – diharapkan mempunyai efek domino terhadap lembaga-lembaga lain di bawahnya yang mana nantinya juga akan berimbas kepada masyarakat. Dan akhirnya, apa yang disebut sebagai civil religion dan civil society bukan lagi menjadi angan-angan bagi para penduduk negeri di bawah angin ini.

Peneliti Junior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( Endi )