Beranda Berita Terkini Penjual kue dan pengamen lulus masuk universitas bergengsi

Penjual kue dan pengamen lulus masuk universitas bergengsi

BERBAGI
3 mahasiswa yang lolos masuk universitas
3 mahasiswa yang lolos masuk universitas
3 mahasiswa yang lolos masuk universitas
3 mahasiswa yang lolos masuk universitas

BT.COM Berkaus oblong. Pemuda tanggung itu bergegas turun dari angkutan kota. Pukul delapan. Dan sepagi itu dia sudah menempuh perjalanan berkilo jauhnya. Berangkat dari Depok, turun di Kampung Rambutan. Di riuh keramaian terminal itu, dia sama sekali tak menyadari sepasang mata terus menguntit.

Lalu bentakan itu menghentikan langkah. “Mau ke mana kamu!. Jangan lari”. Suara yang menciutkan nyali itu datang dari seorang bermuka galak. Jika pada Rabu, 8 Juli 2015 itu, beribu orang berduyun-ke pusat kota Jakarta mengali hidup, bermata kosong lelaki muda ini duduk di mobil bak terbuka, milik Satuan Polisi Pamong Praja.

Sesungguhnya dia bisa kabur. Tapi sesuatu menghentikan langkah. Gitar yang ditenteng dan dipinjam dari seorang kawan. Bila kabur gitar itu bakal rusak. Padahal, di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, cuma gitar itulah satu-satunya cara mencari nafkah. Jadi, menyerah kepada para petugas itu adalah cara menyelamatkan nafkah.

Dzulfikar Akbar Cordova, begitu nama pengamen muda ini,  lalu dibawa ke Panti Sosial di Cipayung, Jakarta Timur. Para petugas di situ bertanya tentang rupa-rupa perkara. Tentang apa saja aktivitasnya sebagai pengamen. Beroperasi di mana saja. Bersama siapa. Dan untuk apa uang hasil berdendang dari angkutan ke angkutan itu.

Di tempat seperti itu, membela diri hampir tak ada manfaatnya. Menjawab bahwa uang hasil ngamen itu diperlukan untuk biaya kuliah, tentu juga terdengar mengarang. Terlampau “melangit” untuk seorang pengamen dengan suara semerdu apapun. Walhasil dia menjadi penghuni sementara di situ.

Mendekam di sebuah ruang di situ, Dodo —begitu dia akrab disapa-– dihingapi gelisah tak terkira. Sebab, esok hari adalah waktu pengumuman hasil seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Pemuda yang baru saja lulus dari SMA Master, Depok, Jawa Barat ini adalah salah satu peserta.

Beruntung dia boleh membawa ponsel ke ruang itu. Benda mungil itu bisa membantu. Berkomunikasi dengan kawan-kawan, guru dan keluarga di luar sana, lalu berharap mereka datang melepas. Tapi harapan itu melayang hingga hari berikutnya. Jangankan menjenguk, yang tahu bahwa dia menginap di situ, ya dia sendiri, dan tentu saja para petugas yang menggiringnya ke sana.

Baca Juga :  Gebyar Jaya School Entrepreuneurship Week 2012, Hebohkan Bintaro

Sehari-hari hidup susah, mengadu nasib di angkutan umum, tapi sukses melewati SMP, SMA, dengan cita-cita setinggi angkasa, sungguh sayang menyerah di tempat seperti ini. Bertahun-tahun hidupnya adalah himpunan kesulitan. Dan sejauh ini dia tak pernah menyerah.

Keesokan harinya Dodo memberanikan diri memohon izin memakai komputer dengan akses internet milik pengelola panti. Para petugas di situ berbaik hati memberi ijin, asal sore hari. Tapi entah lupa atau bagaimana, petugas itu pulang sebelum janji itu dituai.

Dodo kian cemas sebab hari pun mulai beranjak malam. Dia sudah kehabisan akal demi mencari tahu apakah lolos SNMPTN atau tidak. Sampai ponsel miliknya, yang semenjak kemarin “semedi” berdecik-decik.

Sebuah pesan  whatapps masuk. Ternyata dari grup whatsapp siswa-siswa SMA Master. Cepat  dia membuka. Wajahnya sumringah. Si pengirim pesan membawa kabar yang ditunggu dua hari terakhir. Dodo lulus ujian masuk Universitas Indonesia. Dia diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Islam.

Si pengirim pesan itu tak tahu bahwa Dodo sedang diinapkan di Panti Sosial. Dia lalu mengirim kabar kepada kawan-kawannya, “Gue masih ditangkap Satpol PP nih.” Diselimuti haru dan bahagia, Dodo menuturkan kisah hidup dua hari itu kepada reporter Dream, Maulana Kautsar, pekan lalu.

***

Hidup memang sulit, tapi Dodo mencari jalan keluarnya sendiri. Dia adalah contoh bahwa kerja keras dan tekad bisa memenangkan persaingan, meski untuk makan harus dicari dari satu angkutan ke angkutan yang lain. Kisah perjuangan Dodo ini tidak hanya ramai dikalangan teman-teman SMAnya, media massa juga ramai mewarta.

Dan ini seperti kemenangan kehidupan. Media massa mewarta dengan penuh gembira. Pengamen masuk UI, begitu sejumlah media memberi judul. Banyak orang berdecak kagum, menyanjung anak muda ini sembari berharap kelak hidupnya terang benderang.

Baca Juga :  Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang Tingkatkan Pengawasan Obat dan Makanan

Sejumlah media kemudian berburu kisah-kisah seperti ini. Dan tampaknya memang begitu banyak “permata” yang tenggelam di kehidupan negeri yang sulit ini. Selain Dodo, dua anak muda lainnya, sukses membuat kagum orang ramai.

Lihatlah kisah hidup Chintya Kahassa Gultom. Gadis yang bekerja sebagai kasir sebuah laundry rumahan ini lolos seleksi SBMPTN. Dia  tercatat dalam daftar mahasiswa baru Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Angkatan 2015.

Padahal hidupnya bukan lagi kembang-kempis, tapi mengempis saban hari. Lantaran selalu dirubung kesulitan, dia nyaris hanya berijazah SMP. Tak punya uang membuat sekolah SMA-nya tamat di tengah jalan. Uang memang bisa melemparkannya dari bangku sekolah, tapi tidak cita-cita dan semangat hidup anak muda.

Level SMA dilanjutkannya dengan mendaftar di sekolah paket C, pada lembaga pendidikan non formal Sekolah Masjid Terminal (Master). Meski hanya sekolah non formal, semangat melanjutkan sekolah tak surut. Otaknya encer. Dan otak itulah yang mengantarnya ke Universitas Indonesia.

Simak juga kisah Anisa Amelia, penjual kue donat rumahan yang menembus ketatnya persaingan perguruan tinggi negeri. Saban hari dia menjajakan donat di sela waktu istirahat SMA Master. Meski dihimpit susah,  Amel tetap memburu mimpinya menjadi mahasiswa. Ia pun diterima  di studi Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Ketika sebagian besar pelajar tidur pulas, Amel justru tengah belajar di tengah malam buta. Semua terpaksa dilakukan karena perceraian orang tua yang membuat nasibnya morat-marit.

Dan inilah roda hidupnya saban hari. Pulang ke rumah jam 8 malam. Baru tidur jam pada 10 malam. Terus bangun pada jam 1 dini hari. “Salat dulu, terus belajar sampai subuh. Habis subuh terus tidur lagi, bangun jam 8 pagi. Berangkat jualan, kalau tidak jualan, setelah bantu bersih-bersih, baru sekolah,” ujarnya.

Baca Juga :  Refleksi Nilai Keislaman Dalam Mencegah dan Mengobati Virus Corona

Menjalani rutinitas seperti itu tentu saja tidak mudah, tapi  seperti halnya Dodo dan Chintya, Amel tak punya pilihan lain meneruskan nafas. Dan sejauh ini, tiga anak muda ini sudah memenangkan pertandingan melawan hidup yang susah itu.

Tujuh puluh tahun merdeka, memang tidak semua warga negara ini merdeka menentukan hidup, tidak semua merdeka memilih sekolah. Masih banyak yang susah hidupnya. Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS) berikut ini. Lebih dari 27,7 juta orang Indonesia hidup dalam kemiskinan. Jumlah itu sama dengan 10,96 persen total penduduk Indonesia.

Jumlah penduduk miskin pada daerah perkotaan mencapai 10,36 juta orang. Sementara di desa, masih ada 17,37 juta manusia. Sebanyak itulah warga negeri kita ini yang susah hidupnya.

Jangankan bersekolah di perguruan tinggi, mereka  sudah termegap-megap membiayai anaknya sekolah di Sekolah Dasar maupun sekolah menengah. Memaksa diri masuk perguruan tinggi bakal “dihalau” biaya yang melangit.
Meski Dodo, Amel dan Chintya lulus masuk perguruan tinggi negeri, bukan berarti perjalanan mereka mulus sudah. Masih ada biaya besar yang menunggu mereka. Uang kuliah dan tentu saja biaya hidup sehari-hari.

Sayang, Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) dari Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sudah tak lagi menerima pendaftar baru. Dodo, Chintya, dan Amela terlambat mendaftar program yang dibuka bagi mahasiswa kurang mampu ini.

Andai saja ketiga mahasiwa ini bisa memperoleh beasiswa itu, setidaknya bisa meringankan beban hidup mereka. Beasiswa itu memberikan bantuan biaya hidup Rp 600.000 bagi penerima.

Dodo, Chintya dan Amel sejauh ini memang menang melawan nasibnya, tapi jalan mereka masih terjal. Siapa yang bisa membantu?