Beranda Berita Photo Sosok Pejuang Emansipasi Wanita “R.A. Kartini”

Sosok Pejuang Emansipasi Wanita “R.A. Kartini”

BERBAGI
R.A Kartini
R.A Kartini
R.A Kartini

BT.com – Raden Ajeng Kartini. Kita pasti mengenalnya sebagai seorang tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Mulai dari anak SD sampai rata-rata orang usia dewasa pasti mengenal Kartini pada batas itu. Saya pun tidak lepas dari mindset tersebut hingga saya membaca karya Pram yang sangat luar biasa ini. Karyanya ini benar-benar membuat pandangan saya terhadap Kartini berubah total. Sekarang saya menjadi lebih kagum kepada Kartini karena dia bukan hanya pemikir yang luar biasa cerdas, tapi sekaligus pejuang yang sangat gigih dan seorang seniman yang luar biasa.

Buku yang membahas Kartini sangat jarang kita temui. Dan dari buku-buku yang ada itu saja hampir bisa dipastikan sangat jarang ada yang membacanya. Mungkin karena inilah kebanyakan dari kita tidak mengenal dengan baik siapa sosok Kartini sebenarnya. Nah, karya Pram ini adalah salah satu buku dari sekian buku yang membahas Kartini itu. Karena buku ini ditulis oleh Pram—yang kita tahu bahwa dia antifeodalisme—maka kita akan diajak mengenal Kartini sebagai sosok yang (juga) antifeodalisme. Dari membaca judul buku ini saja kita akan langsung merasakan hal tersebut. Panggil Aku Kartini Saja bukanlah sebuah kalimat rekaan Pram, melainkan sebuah kalimat dari Kartini sendiri yang diambil dari penggalan suratnya kepada Estelle Zeehandelaar (sahabat penanya) pada tanggal 25 Mei 1899. Menurut Pram kalimat tersebut adalah sebuah bentuk penolakan Kartini terhadap feodalisme pribumi yang di waktu itu merupakan hal yang sangat lumrah.

Kartini hidup di zaman di mana feodalisme masih begitu diagungkan di negeri ini, terutama di tanah Jawa. Apalagi kebudayaan Jawa yang sejak lama turun-temurun (hampir) selalu pro pada praktik feodalisme. Malah menurut Pram sendiri tingkatan/susunan pada bahasa Jawa saja merupakan bentuk feodalisme karena itu adalah warisan sistem pengkastaan Hinduisme. Yah, wajar juga Pram berpendapat seperti itu karena Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa juga menyebutkan huruf Jawa berasal dari huruf Sansekerta Dewanagari dari India Selatan—tempat di mana Hinduisme berasal. Praktik feodalisme inilah yang sangat ditentang Kartini dan hal inilah yang menjadi tonggak perjuangannya. Bukan hanya karena feodalisme di zaman tersebut sangat membatasi hak kaum wanita, tapi sistem tersebut menurutnya juga memberikan jarak yang sangat jauh antara pembesar (bangsawan) dengan rakyat. Jangankan antara pembesar dan rakyatnya, di dalam keluarga Kartini sendiri—yang merupakan keluarga bangsawan—sistem tersebut juga “sukses” memberikan jarak yang sangat terasa antara yang tua dengan yang muda. Hal-hal inilah yang ingin dirombak oleh Kartini karena menurutnya derajat/kedudukan seseorang bukanlah dilihat dari jabatan atau kebangsawanannya, melainkan dari tingkat kecerdasan, pengetahuan, dan kemampuannya.

Baca Juga :  Kunjungi Lapas Anak Wanita, Mensos Diminta Bantu Revisi PP 99/2012

Dan bagaimana mungkin hal itu tercapai jika masyarakat pribumi saja tidak mendapatkan pendidikan yang memadai? Apalagi bagi para wanita pribumi. Jangankan untuk pergi sekolah, untuk pergi keluar rumah saja dilarang oleh adat! Tapi, Kartini mendobrak itu semua dan berhasil mengenyam bangku sekolah—meski hanya sebuah sekolah rendah Belanda. Namun, ada satu hal yang tidak bisa didobrak oleh Kartini, yaitu menjalani pingitan yang harus dijalaninya pada tahun 1892. Jika kita selama ini mengira hubungan Kartini dengan ayahnya sangat renggang karena masalah pingitan ini, hal itu salah besar! Justru Kartini sangat mencintai dan sangat dekat dengan ayahnya. Kartini tidak pernah menyalahkan ayahnya yang telah membuatnya hidup dalam pingitan selama empat tahun. Hal itu tampak dalam surat-surat yang ditulis Kartini karena di sanalah Kartini juga menumpahkan perasaan cinta dan hormatnya kepada ayahnya.

Menurut Pram pingitan itu justru membuat Kartini semakin matang karena selama itu Kartini mengalami pendalaman. Setelah bebas dari pingitan inilah Kartini mulai menampakkan perjuangannya. Dari awal Kartini sudah menampakkan minat yang sangat besar pada bidang sastra. Hal itulah yang membuat Kartini memutuskan memperjuangkan idealismenya lewat dunia sastra. Sebab Kartini menyadari dia tidak akan mampu berjuang secara fisik karena dalam hal itu dia memiliki banyak keterbatasan. Karena itu Kartini kemudian mempelajari bahasa Belanda hingga dia sangat fasih menggunakan bahasa tersebut. Kemampuannya berbahasa Belanda inilah yang mengenalkannya pada bermacam-macam karya sastra Barat dan demokrasi Barat. Dan beberapa karya sastra yang benar-benar mempengaruhinya adalah karya-karya Multatuli dan romanHilda van Suylenburg karya Cecile Goekoop de Jong. Karya-karya Multatuli itu menginspirasi Kartini untuk mengentaskan kemelaratan yang melanda kaum pribumi, sementara Hilda van Suylenburg adalah sebuah roman bertendensi emansipasi wanita yang menginspirasinya untuk mengemansipasi wanita pribumi. Perjuangan Kartini dalam mengemansipasi wanita pribumi juga terinspirasi dari aksi Pandita Ramabai di India. Pandita Ramabai adalah wanita Hindu yang memelopori perlawanan terhadap nasib buruk wanita Hindu yang diakibatkan oleh adat dan agama. Ditambah lagi Estelle Zeehandelaar—sahabat yang menjadi tempatnya bertukar pikiran—adalah seorang feminis-sosialis.

Baca Juga :  PJ Gubernur DKI Jakarta dan Kapolda Metro Jaya Berangkatkan 13.541 Pemudik Gratis dari Monas

Sepak terjang Kartini tidak hanya dalam hal emansipasi wanita yang seperti selama ini kita kenal. Dia juga adalah sosok yang memperjuangkan “kemerdekaan” dan kesejahteraan rakyatnya serta merupakan seniman yang handal di berbagai bidang. Semua perjuangannya itu terutama dia lakukan lewat seni sastra/kepengarangan. Semua pemikiran-pemikirannya dia tuangkan lewat tulisan, terutama melalui surat-suratnya. Salah satu yang diakui dunia internasional adalah perannya dalam mengenalkan batik pada dunia. Di masa itu batik merupakan seni yang secara khas dilakukan oleh wanita. Kartini juga merupakan seorang pembatik dan ahli batik. Dari pengalamannya tersebut dia menyusun sebuah karangan tentang batik karena batik adalah salah satu seni rakyat kebanggaannya. Dan tak disangka-sangka karangannya tersebut—yang berjudul Handchrift Japara—menarik perhatian ibu suri kerajaan Belanda di Pameran Nasional untuk Karya Wanita pada tahun 1898 di Den Haag karena naskah tersebut ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna. Hal yang patut digarisbawahi dari tulisan-tulisan Kartini adalah semuanya ditulis dalam bahasa Belanda. Bukannya Kartini tidak berjiwa nasionalis, sebab bahasa itulah yang paling dikuasai Kartini selain bahasa Jawa. Kartini juga tidak begitu bagus berbahasa Melayu—yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Karena itulah Kartini memutuskan menulis menggunakan bahasa Belanda karena dia menyasar pembaca dari Eropa, khususnya Belanda. Sebab jika dia menulis dalam bahasa Jawa sudah dipastikan tidak akan ada yang menangkap esensi pemikiran-pemikirannya.

Selain itu Kartini juga memperjuangkan perbaikan ekonomi para seniman ukir kayu dengan menghentikan eksploitasi yang dilakukan orang Belanda pada mereka. Kartini jugalah yang mempromosikan kerajinan ukir kayu ini kepada bangsawan/pembesar-pembesar di Jawa dan keluarga-keluarga Eropa. Bahkan Kartini sendiri juga ikut membikin pola ukiran untuk memperkaya variasi pola ukiran yang sudah ada. Prosanya yang berjudul Van een Vergeten Uithoekje yang memperkenalkan keadaan sosial-ekonomi para seniman miskin itu juga menawan hati para pembaca sehingga banyak yang ikut bersimpati pada Kartini dan seniman-seniman tersebut. Tidak mengherankan jika Pram menyebut Kartini adalah seorang Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara karena usaha-usahanya tersebut.

Di samping itu semua Kartini juga seorang pelukis yang cukup bagus. Fakta ini ternyata jarang diketahui oleh banyak orang sebab Kartini lebih menonjol di dunia sastra. Dia pun memiliki minat pada seni musik, terutama musik tradisional gamelan. Sedang di dalam seni menulis/kepengarangan kemampuannya sudah tidak diragukan lagi karena sudah diakui secara internasional—contohnya adalah beberapa karyanya yang saya sebut sebelumnya. Dan dengan segala keterbatasan yang dimilki Kartini pada zaman itu, Kartini adalah wanita yang sangat lengkap. Seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini, dia adalah seorang pemikir yang luar biasa cerdas, pejuang yang gigih, dan seniman yang luar biasa. Apalagi semua itu direngkuhnya pada usia yang masih muda, dua puluhan tahun!

Baca Juga :  Pemilihan Ketua Karang Taruna," Tingkat RW 02, Kelurahan Kademangan

Karya Pram ini benar-benar menginspirasi kita semua—tidak hanya kaum wanita saja—bahwa dengan segala keterbatasan, Kartini mampu melakukan hal-hal yang saat itu mustahil. Kartini sangat mencintai sastra. Dia tahu jika dia mengandalkan kemampuan bahasa lokal, pilihan bacaannya akan sangat terbatas. Karena itu dia belajar bahasa Belanda hingga fasih sehingga dia mampu mengenal dunia Barat lewat kemampuannya ini. Dia juga mempelajari bahasa Prancis dan Inggris meski sedikit. Kecintaannya pada sastra itu jugalah yang membuatnya cinta membaca. Patut diketahui bahwa pada saat itu di Jepara tidak ada toko buku. Tidak heran jika Kartini harus sampai memesan buku yang ingin dibaca hingga ke negeri Belanda dan menunggunya berbulan-bulan. Kecintaannya dalam membaca juga yang membuatnya sangat mengenal dunia Barat dengan baik meski dia belum pernah ke sana. Itu semua yang menyebabkan kenapa pemikiran-pemikirannya begitu cerdas dan sangat maju. Dan berkat pemikiran-pemikirannya itu dia mampu mendobrak hubungan feodal antara dirinya dan rakyatnya. Dan kecintaannya pada rakyatnya ini juga yang membuatnya begitu mencintai kesenian-kesenian yang dikembangkan oleh rakyatnya. Itulah yang dilakukan Kartini agar mendapatkan tingkat peradaban yang layak menurut tradisi Eropa: belajar, pendidikan, seni, dan sastra. Sebab bagaimanapun tinggi pendidikan seseorang, tanpa sastra atau seni, orang itu masih dianggap belum beradab, meskipun tidak biadab.

Sayang sekali Panggil Aku Kartini Saja ini bukanlah sebuah karya yang utuh. Buku ini hanya memuat jilid pertama dan kedua saja dari keseluruhan empat jilid. Jilid ketiga dan keempat lenyap tak berbekas akibat vandalisme tentara pada huru-hara 1965. Hanya dua jilid pertama yang selamat. Meski sedikit “nanggung”, setidaknya kita mampu mengenal lebih jauh siapa sosok Kartini sehingga kita lebih bisa merenungi perjuangan-perjuangannya—tidak hanya melalui penghormatan simbolis setiap setahun sekali.